*cerita ini terinspirasi dari sejarah pemberontakan PRRI, Sumitro Djojohadikusomo, Prabowo, dan tentang konspirasi tingkat tinggi menjatuhkan Sukarno.
Mei,2009.
Pagi jam 7 lebih waktu Kuala Lumpur,saya sarapan disatu kedai ‘mamak corner’di
daerah Ong Tai Kim. Sesudah menghabiskan sepotong roti canai dan meneguk
secawan ‘teh tarik’panas, saya kemudian membaca surat kabar ‘Utusan Melayu’
“Boleh
pinjam surat kabarnya,tuan” seorang lelaki tua dengan perawakan tinggi besar
menyapa saya, kebetulan beliau semeja dengan saya pada waktu itu.Saya
sebenarnya tidak perduli apa yang sedang dibaca lelaki tua itu, akan tetapi
pandangan mata saya tergoda ketika melihat lelaki tua itu tersenyum sendiri
sambil asyik membaca surat kabar tersebut. Aneh juga dan terlebih aneh lagi,
ketika tiba-tiba saja lelaki tua itu bersuara.
“Kenapa
anak ini begitu polos untuk merelakan dirinya untuk terjebak dengan permainan anak
Sukarno. Apa Pak Bakar tidak ajar dia langsung soal yang begini”
Jujur
saja, semula saya tidak mengerti, apa sebenarnya yang dimasudkan oleh lelaki
tua ini.Akan tetapi rasa ketertarikan saya memperhatikan gelagat lelaki tua ini
yang terasa aneh, membuat rasa ingin tahu saya, apa sebenarnya yang sedang
beliau baca. Dan rasa penasaran saya, sebenarnya mendorong rasa ingin tahu saya
juga.Siapa anak Sukarno yang lelaki tua ini maksud ? Siapa anak ini? Dan siapa
Pak Bakar?
“Baca
berita tentang apa Pakcik?”
“Tengok
ini, ini anak buat kerja membazir dan sia-sia belaka” Komentar lelaki tua ini,
sambil beliau menyerahkan surat kabar tersebut kepada saya. Dan tentunya tampa
disengaja, sebenarnya lelaki tua ini ingin saya juga harus ikut membaca tajuk
atau judul berita yang ada didalam surat kabar tersebut yang berbunyi demikian;
‘Megawati
dan Prabowo Bersetuju Bergabung Untuk Menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia’
“Apabila
saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara
boleh menangkap saya dan menyerahkan saya kepemerintahan Sukarno. Saya masih
ingat betul kata Achmad Husein ini, ketika dia menggelar rapat umum PRRI di
Padang pada bulan Februari 1958” Lelaki tua itu bersuara lagi.Saya menjadi
bertambah heran dengan ucapan-ucapan yang terkeluar dari mulut lelaki tua
ini.Dan tentunya juga kebingungan, kenapa lelaki tua ini ingin sekali bercerita
kepada saya tentang sejarah besar pemberontakan PRRI Permesta. Apa hubungan
Megawati dan Prabowo dengan sejarah besar pemberontakan tersebut. Kerena masih
dalam kebingungan, saya coba saja biarkan lelaki tua itu bercerita.
“Keesokan
harinya masih dalam bulan februari di tahun yang sama,Angkatan Perang Republik
Indonesia mulai melancarkan operasi penumpasan PRRI dengan kekuatan penuh.
Operasi itu diberi nama sandi operasi 17 agustus, dipimpin langsung oleh
Kolonel Achmad Yani. Pesawat AURI langsung menghujani kota Padang dan
Bukittinggi dengan bom. Ketika itu juga, puluhan kapal perang membombardir
pantai kota Padang. Anehnya, tidak ada perlawanan langsung dari pihak
pemberontak. Tidak ada serangan balasan meski bertubi-tubi diserang APRI. Tidak
ada satupun pemberontak yang berusaha meletuskan senjatanya.Ini kerena sehari
setelah rapat rahasia sungai dareh ditutup, Natsir memberi perintah agar PRRI
menerapkan gerakan tanpa perang untuk melawan pemerintah Sukarno.Seruan ini
harus di ikuti PRRI tidak boleh membalas serangan tapi harus mundur
kekampung-kampung, dan terus masuk kehutan-hutan.”
Dengan
rasa kebingungan yang masih berputar didalam isi kepala saya, saya beranikan
diri memotong isi pembicaraan lelaki tua ini.
“Maaf
Pakcik, apa hubungannya Megawati dan Prabowo dengan sejarah pemberontakan PRRI
itu?”
“Anak
itu anaknya Bakar, saya yakin betul anak itu anaknya Abu Bakar.”
“Prabowo,
maksud Pakcik” Saya sengaja memotong jawaban beliau dengan jawaban juga, agar
rasa kebingungan yang membuntu di dalam isi kepala saya boleh diselesaikan
dengan mudah dan cepat.
“Iya!”
Kemudian Lelaki tua ini melanjutkan lagi “ Ketika berjumpa dengan Bakar di
Kuala Lumpur, saya tahu betul dia sengaja menukar namanya, nama Jawanya dengan
nama Melayu.Itu demi keamanan dia dan keluarganya. Dia itu seorang lelaki Jawa
yang tidak hipokrit. Dia lelaki Jawa yang rela menderita demi pengabdian dan
perlawanan melawan rezim Sukarno. Pertama melihat dan bertemu Bakar, ketika itu
di Padang, saya sempat bertanya dengan teman dekat saya,Malik. Saya kata dengan
Malik, siapa lelaki Jawa yang sedang berbicara dengan Letkol Achmad Husein itu.
Malik kata lelaki Jawa itu namanya Sumitro Djojohadikusomo.Sambil bercanda,
saya kata dengan Malik, lelaki Jawa itu namanya sangat sukar disebut dengan
lidah orang Minang, itu sebab kenapa saya lebih suka menyebut namanya dengan
panggilan Bakar saja. Malik kata juga, Achmad Husein sengaja mengangkat dia menjadi Menteri
Perhubungan di dalam Kabinet PRRI, bukan saja kerena Bakar itu orangnya pandai
dan berpendidikan Belanda. Akan tetapi, kerena Bakar juga adalah seorang yang
punya hubungan dekat dengan CIA.”
“PRRI
pernah mendapatkan bantuan persenjataan dari CIA kan?” Naluri kehati-hatian saya sebagai
seorang penulis di salah satu surat kabar Melayu, ternyata hanya sebatas
pertanyaan pendek itu. Padahal ambisius saya jauh lebih besar,berputar-putar,
naik turun dalam isi kepala saya. Kenapa Bakar atau Sumitro hubungannya dengan
Sukarno, dengan pemberontakan atau perjuangan tokoh-tokoh utama PRRI? Kenapa
Megawati dan Prabowo hubungannya dengan sejarah besar pemberontakan
PRRI?Jawabanya buntu dan terputus-putus di dalam rangkaian besar pertanyaan
sejarah besar Indonesia.Haruskah dicari jawaban yang sebenar dari catatan
sejarah yang benar ini?
“Itu
benar, benar sekali, kerena PRRI memerlukan senjata pada waktu itu untuk
menghadapi serangan dari pemerintah pusat. Sedangkan CIA perlu saluran untuk
menggertak Sukarno. Akan tetapi, peristiwa itu merupakan kebiadaban yang
langsung dirasakan oleh seluruh masyarakat Minang, sehingga menimbulkan trauma
yang mendalam.” Ada rasa marah yang mendalam atau juga mungkin sedikit rasa
dendam yang terkandung di dalam ucapan lelaki tua ini. Kemudian lelaki tua ini
mengatakan kepada saya, isi hatinya.Inilah dia yang sebenarnya, 50 tahun lebih
beliau hidup ditanah Semenanjung Malaya,dinegeri orang, tetapi rasa cintanya
kepada Republik Indonesia masih akan tetap ada.
“Waktu
itu, kita Dewan Perjuangan hanya ingin menyatakan, kita ingin terbebas dari
kewajiban taat kepada Sukarno sebagai kepala negara.Tidak ada satu kalimatpun
dalam ultimatum kita yang menyatakan akan memisahkan diri dari Republik
Indonesia tercinta itu.Kita dengar baik-baik kata Achmad Husein ketika itu,
kita buat organisasi, kita gertak Sukarno sampai kelak dia undang kita untuk
membicarakan nasib bangsa ini.”
Dari
awal saya sudah menduga dan menafsirkan bahwa lelaki tua itu, bukan lelaki tua yang
biasa saja. Bukan juga seorang anak manusia yang lemah bathin dan jiwanya yang
selalunya terkadang terbawa rasa marah, bahkan juga terbawa rasa dendam yang
mendalam kerana sebab-sebab pengalaman buruk sejarah masa lalu.Lelaki tua ini
adalah seorang pejuang yang melawan rezim sang penguasa, seorang yang berjuang
melawan diri sendiri untuk menghilangkan goresan luka dan trauma yang mendalam
dari sebuah sejarah buruk masa lalu yang kemudian mengisinya dengan cinta demi
memberi makna dan arti untuk mendirikan seutuhnya dan merawat sebuah bangsa
yang bernama Republik Indonesia.
“Siapa
yang salah dan siapa yang berdosa atas kegagalan perjuangan PRRI yang sia-sia
itu?” Lelaki tua itu memandangi saya
dengan tatapan aneh, saat itu juga saya merasa bodoh kenapa
mempertanyakan kalimat yang tidak akan dijawab oleh lelaki tua itu.
“Pak
Bakar itu agen CIA juga kah?” Duh, saya sepertinya merasa kelihatan bodoh lagi di
mata lelaki tua ini. Bodoh terperangkap dalam kebingungan yang buntu dalam
mencari catatan sejarah yang benar. Kemudian lelaki tua itu menjelaskan
kebuntuan tersebut.
“Pak
Bakar hanya menjadi jurubicara para Kolonel di luar negeri saja. Di Singapura,
Bakar menghubungi agen CIA yang sudah dikenalnya di Jakarta. Kemudian Bakar
bertemu dengan para Kolonel di Palembang.Tentunya Bung Karno marah besar pada
masa itu,sehingga Bung Karno membubarkan PSI dan Mashyumi. Semua orang banyak
tahu Bakar itu orangnya PSI, dan orang yang dekat sekali dengan pimpinan
Masyumi.Malik pernah kata dengan saya, orang-orang Masyumi terjebak dalam
persekongkolan para Kolonel dengan CIA.”
“Ini
semua kerana tindakan Bakar, iya ?”
“Tidak
tahu! Pertanyaan kamu ini pernah juga saya tanyakan pada Malik. Malik kata, dia
tidak tahu juga, katanya nanti dia akan coba tanyakan langsung dengan Des Alwi,
bagaimana cerita yang sebenarnya.Waktu itu juga saya minta Malik tanyakan jika
berjumpa dengan Kolonel Jacob Frederick. Tetapi Malik belum pernah beri saya jawaban soal itu. Dan Malik kemudian
menghilang entah kemana. Sebelum menghilang, Malik sempat memberitahukan bahwa
CIA dengan orang-orangnya pernah berkata, I think
it’s time we held Sukarno’s feet
to fire.”
“Apa
Bakar itu ikut juga terlibat untuk menjatuhkan Sukarno melalui konspirasi
tingkat tinggi dengan mengikut sertakan CIA?” Lelaki tua itu terkejut ketika
pertanyaan yang spontan terkeluar dari mulut saya. Dengan tatapannya yang aneh dan
dengan bola matanya yang saya rasa tiba-tiba membulat itu, lelaki tua itu
akhirnya menjawab pertanyaan saya dengan kalimat yang spontan juga.
“Kenapa
kamu tanya begitu?Dari mana kamu tahu soal itu?” Suasana perbincangan saya
dengan lelaki tua itu terdiam sejenak. Ada rasa ketegangan diantara kami berdua
secara tiba-tiba. Saya berharap lelaki tua ini bersuara lagi dengan
cerita-ceritanya yang lebih menarik lagi. Tentunya dengan sengaja saya coba
membiarkan lelaki tua itu tafakur sejenak untuk coba mengingat kembali rekam
jejak sebuah sejarah masa lalu.
“Setahu
saya, ada satu nama CIA yang menjadikan Soeharto sebagai pion utama untuk
menjatuhkan Bung Karno. Kalau tak salah namanya Pater Beek. Akan tetapi,
seperti yang saya dengar dari teman-teman PRRI, sebelum Bakar balik ke
Indonesia, Bakar menyarankan kepada anaknya itu supaya berjumpa dengan Jopie
Lasut untuk membangun banyak jaringan dengan para aktivis pergerakan kelompok
aktivis sosialis dan kelompok akvitis anti
Sukarno. Jadi sangat tidak mengherankan, ketika saya mendengar berita
bahwa Bakar di minta oleh Soeharto untuk balik ke Indonesia, itu pun melalui
Ali Moertopo.” Lelaki tua itu terdiam lagi sejenak, entah beliau ingin
mengingat sesuatu dari masa lalunya atau mungkin beliau ingin mengingatkan kita
tentang sejarah masa lalu itu.
“Bakar
itu sebenarnya sudah cukup amat menderita menjadi pelarian, dan sudah menyamar
sebagai apa saja didalam perlawanannya melawan rezim Sukarno. Sepertinya saya
yakin, Bakar memang benar merencanakan semua ini dengan rapi dan seksama. Dan
tidak heran juga, ketika saya mendengar Sukarno meninggal, Soeharto tidak mau
sama sekali memenuhi amanat Sukarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis.Ini
hubungan yang sifatnya pribadi, ada rasa sakit yang belum terobati.”
Pagi
bulan Mei 2009, ketika Matahari pelan-pelan tapi pasti bergerak hadir mulai
memancarkan cahaya panasnya di langit Kuala lumpur. Beberapa tanda tanya yang
belum akan terjawab yang masih tersisa didalam isi kepala saya, kemudian lelaki
tua itu pergi meninggalkan kedai ‘mamak corner’ sambil menyodorkan secarik
kertas kepada saya dengan nomor,nama jalan,dan pesan yang samar, “Seseorang
akan menemui kamu.”
Mungkin
dari apa yang telah diungkap lelaki tua itu, sejarah bangsa Indonesia harus
ditulis ulang agar kita semua mendapatkan pengetahuan yang benar tentang
sejarah negerinya sendiri, sehingga kita semua dapat belajar dari masa lalu,
dan memberikan yang terbaik untuk masa kini.Sebab, apa yang terjadi dimasa kini
juga merupakan buah dari perjalanan sejarah masa lalu.
Membiarkan
saja sejarah yang ditulis diatas kebohongan akan membuat Indonesia makin
terjerumus dalam beragam kesulitan yang sulit di akhiri, kerena sama saja
artinya membiarkan negara ini tetap dalam genggaman para pembohong pencipta
kebohongan sejarah itu.Dan kerena waktu juga telah membuktikan, rezim pembohong
tidak akan dapat memakmurkan rakyat.
***
Abu Bakar* : Warga Malaysia mengenal Sumitro
Djojohadikusomo dengan nama Abu Bakar
Alfian Buyung Enek* : Penulis untuk Surat
Kabar Utusan Malaysia