Monday 6 February 2017

ABU BAKAR* DAN KONSPIRASI BISU UNTUK INDONESIA

Tags


*cerita ini terinspirasi dari sejarah pemberontakan PRRI, Sumitro Djojohadikusomo, Prabowo, dan tentang konspirasi tingkat tinggi menjatuhkan Sukarno.


Mei,2009. Pagi jam 7 lebih waktu Kuala Lumpur,saya sarapan disatu kedai ‘mamak corner’di daerah Ong Tai Kim. Sesudah menghabiskan sepotong roti canai dan meneguk secawan ‘teh tarik’panas, saya kemudian membaca surat kabar ‘Utusan Melayu’
“Boleh pinjam surat kabarnya,tuan” seorang lelaki tua dengan perawakan tinggi besar menyapa saya, kebetulan beliau semeja dengan saya pada waktu itu.Saya sebenarnya tidak perduli apa yang sedang dibaca lelaki tua itu, akan tetapi pandangan mata saya tergoda ketika melihat lelaki tua itu tersenyum sendiri sambil asyik membaca surat kabar tersebut. Aneh juga dan terlebih aneh lagi, ketika tiba-tiba saja lelaki tua itu bersuara.


“Kenapa anak ini begitu polos untuk merelakan dirinya untuk terjebak dengan permainan anak Sukarno. Apa Pak Bakar tidak ajar dia langsung soal yang begini”
Jujur saja, semula saya tidak mengerti, apa sebenarnya yang dimasudkan oleh lelaki tua ini.Akan tetapi rasa ketertarikan saya memperhatikan gelagat lelaki tua ini yang terasa aneh, membuat rasa ingin tahu saya, apa sebenarnya yang sedang beliau baca. Dan rasa penasaran saya, sebenarnya mendorong rasa ingin tahu saya juga.Siapa anak Sukarno yang lelaki tua ini maksud ? Siapa anak ini? Dan siapa Pak Bakar?
“Baca berita tentang apa Pakcik?”
“Tengok ini, ini anak buat kerja membazir dan sia-sia belaka” Komentar lelaki tua ini, sambil beliau menyerahkan surat kabar tersebut kepada saya. Dan tentunya tampa disengaja, sebenarnya lelaki tua ini ingin saya juga harus ikut membaca tajuk atau judul berita yang ada didalam surat kabar tersebut yang berbunyi demikian; ‘Megawati dan Prabowo Bersetuju Bergabung Untuk Menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia’
“Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya kepemerintahan Sukarno. Saya masih ingat betul kata Achmad Husein ini, ketika dia menggelar rapat umum PRRI di Padang pada bulan Februari 1958” Lelaki tua itu bersuara lagi.Saya menjadi bertambah heran dengan ucapan-ucapan yang terkeluar dari mulut lelaki tua ini.Dan tentunya juga kebingungan, kenapa lelaki tua ini ingin sekali bercerita kepada saya tentang sejarah besar pemberontakan PRRI Permesta. Apa hubungan Megawati dan Prabowo dengan sejarah besar pemberontakan tersebut. Kerena masih dalam kebingungan, saya coba saja biarkan lelaki tua itu bercerita.
“Keesokan harinya masih dalam bulan februari di tahun yang sama,Angkatan Perang Republik Indonesia mulai melancarkan operasi penumpasan PRRI dengan kekuatan penuh. Operasi itu diberi nama sandi operasi 17 agustus, dipimpin langsung oleh Kolonel Achmad Yani. Pesawat AURI langsung menghujani kota Padang dan Bukittinggi dengan bom. Ketika itu juga, puluhan kapal perang membombardir pantai kota Padang. Anehnya, tidak ada perlawanan langsung dari pihak pemberontak. Tidak ada serangan balasan meski bertubi-tubi diserang APRI. Tidak ada satupun pemberontak yang berusaha meletuskan senjatanya.Ini kerena sehari setelah rapat rahasia sungai dareh ditutup, Natsir memberi perintah agar PRRI menerapkan gerakan tanpa perang untuk melawan pemerintah Sukarno.Seruan ini harus di ikuti PRRI tidak boleh membalas serangan tapi harus mundur kekampung-kampung, dan terus masuk kehutan-hutan.”
Dengan rasa kebingungan yang masih berputar didalam isi kepala saya, saya beranikan diri memotong isi pembicaraan lelaki tua ini.


“Maaf Pakcik, apa hubungannya Megawati dan Prabowo dengan sejarah pemberontakan PRRI itu?”
“Anak itu anaknya Bakar, saya yakin betul anak itu anaknya Abu Bakar.”
“Prabowo, maksud Pakcik” Saya sengaja memotong jawaban beliau dengan jawaban juga, agar rasa kebingungan yang membuntu di dalam isi kepala saya boleh diselesaikan dengan mudah dan cepat.
“Iya!” Kemudian Lelaki tua ini melanjutkan lagi “ Ketika berjumpa dengan Bakar di Kuala Lumpur, saya tahu betul dia sengaja menukar namanya, nama Jawanya dengan nama Melayu.Itu demi keamanan dia dan keluarganya. Dia itu seorang lelaki Jawa yang tidak hipokrit. Dia lelaki Jawa yang rela menderita demi pengabdian dan perlawanan melawan rezim Sukarno. Pertama melihat dan bertemu Bakar, ketika itu di Padang, saya sempat bertanya dengan teman dekat saya,Malik. Saya kata dengan Malik, siapa lelaki Jawa yang sedang berbicara dengan Letkol Achmad Husein itu. Malik kata lelaki Jawa itu namanya Sumitro Djojohadikusomo.Sambil bercanda, saya kata dengan Malik, lelaki Jawa itu namanya sangat sukar disebut dengan lidah orang Minang, itu sebab kenapa saya lebih suka menyebut namanya dengan panggilan Bakar saja. Malik kata juga, Achmad Husein  sengaja mengangkat dia menjadi Menteri Perhubungan di dalam Kabinet PRRI, bukan saja kerena Bakar itu orangnya pandai dan berpendidikan Belanda. Akan tetapi, kerena Bakar juga adalah seorang yang punya hubungan dekat dengan CIA.”
“PRRI pernah mendapatkan bantuan persenjataan dari CIA  kan?” Naluri kehati-hatian saya sebagai seorang penulis di salah satu surat kabar Melayu, ternyata hanya sebatas pertanyaan pendek itu. Padahal ambisius saya jauh lebih besar,berputar-putar, naik turun dalam isi kepala saya. Kenapa Bakar atau Sumitro hubungannya dengan Sukarno, dengan pemberontakan atau perjuangan tokoh-tokoh utama PRRI? Kenapa Megawati dan Prabowo hubungannya dengan sejarah besar pemberontakan PRRI?Jawabanya buntu dan terputus-putus di dalam rangkaian besar pertanyaan sejarah besar Indonesia.Haruskah dicari jawaban yang sebenar dari catatan sejarah yang benar ini?
“Itu benar, benar sekali, kerena PRRI memerlukan senjata pada waktu itu untuk menghadapi serangan dari pemerintah pusat. Sedangkan CIA perlu saluran untuk menggertak Sukarno. Akan tetapi, peristiwa itu merupakan kebiadaban yang langsung dirasakan oleh seluruh masyarakat Minang, sehingga menimbulkan trauma yang mendalam.” Ada rasa marah yang mendalam atau juga mungkin sedikit rasa dendam yang terkandung di dalam ucapan lelaki tua ini. Kemudian lelaki tua ini mengatakan kepada saya, isi hatinya.Inilah dia yang sebenarnya, 50 tahun lebih beliau hidup ditanah Semenanjung Malaya,dinegeri orang, tetapi rasa cintanya kepada Republik Indonesia masih akan tetap ada.
“Waktu itu, kita Dewan Perjuangan hanya ingin menyatakan, kita ingin terbebas dari kewajiban taat kepada Sukarno sebagai kepala negara.Tidak ada satu kalimatpun dalam ultimatum kita yang menyatakan akan memisahkan diri dari Republik Indonesia tercinta itu.Kita dengar baik-baik kata Achmad Husein ketika itu, kita buat organisasi, kita gertak Sukarno sampai kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”



Dari awal saya sudah menduga dan menafsirkan bahwa lelaki tua itu, bukan lelaki tua yang biasa saja. Bukan juga seorang anak manusia yang lemah bathin dan jiwanya yang selalunya terkadang terbawa rasa marah, bahkan juga terbawa rasa dendam yang mendalam kerana sebab-sebab pengalaman buruk sejarah masa lalu.Lelaki tua ini adalah seorang pejuang yang melawan rezim sang penguasa, seorang yang berjuang melawan diri sendiri untuk menghilangkan goresan luka dan trauma yang mendalam dari sebuah sejarah buruk masa lalu yang kemudian mengisinya dengan cinta demi memberi makna dan arti untuk mendirikan seutuhnya dan merawat sebuah bangsa yang bernama Republik Indonesia.
“Siapa yang salah dan siapa yang berdosa atas kegagalan perjuangan PRRI yang sia-sia itu?” Lelaki tua itu memandangi saya  dengan tatapan aneh, saat itu juga saya merasa bodoh kenapa mempertanyakan kalimat yang tidak akan dijawab oleh lelaki tua itu.
“Pak Bakar itu agen CIA juga kah?” Duh, saya sepertinya merasa kelihatan bodoh lagi di mata lelaki tua ini. Bodoh terperangkap dalam kebingungan yang buntu dalam mencari catatan sejarah yang benar. Kemudian lelaki tua itu menjelaskan kebuntuan tersebut.
“Pak Bakar hanya menjadi jurubicara para Kolonel di luar negeri saja. Di Singapura, Bakar menghubungi agen CIA yang sudah dikenalnya di Jakarta. Kemudian Bakar bertemu dengan para Kolonel di Palembang.Tentunya Bung Karno marah besar pada masa itu,sehingga Bung Karno membubarkan PSI dan Mashyumi. Semua orang banyak tahu Bakar itu orangnya PSI, dan orang yang dekat sekali dengan pimpinan Masyumi.Malik pernah kata dengan saya, orang-orang Masyumi terjebak dalam persekongkolan para Kolonel dengan CIA.”
“Ini semua kerana tindakan Bakar, iya ?”
“Tidak tahu! Pertanyaan kamu ini pernah juga saya tanyakan pada Malik. Malik kata, dia tidak tahu juga, katanya nanti dia akan coba tanyakan langsung dengan Des Alwi, bagaimana cerita yang sebenarnya.Waktu itu juga saya minta Malik tanyakan jika berjumpa dengan Kolonel Jacob Frederick. Tetapi Malik belum pernah beri  saya jawaban soal itu. Dan Malik kemudian menghilang entah kemana. Sebelum menghilang, Malik sempat memberitahukan bahwa CIA dengan orang-orangnya pernah berkata, I think  it’s  time we held Sukarno’s feet to fire.”
“Apa Bakar itu ikut juga terlibat untuk menjatuhkan Sukarno melalui konspirasi tingkat tinggi dengan mengikut sertakan CIA?” Lelaki tua itu terkejut ketika pertanyaan yang spontan terkeluar dari mulut saya. Dengan tatapannya yang aneh dan dengan bola matanya yang saya rasa tiba-tiba membulat itu, lelaki tua itu akhirnya menjawab pertanyaan saya dengan kalimat yang spontan juga.
“Kenapa kamu tanya begitu?Dari mana kamu tahu soal itu?” Suasana perbincangan saya dengan lelaki tua itu terdiam sejenak. Ada rasa ketegangan diantara kami berdua secara tiba-tiba. Saya berharap lelaki tua ini bersuara lagi dengan cerita-ceritanya yang lebih menarik lagi. Tentunya dengan sengaja saya coba membiarkan lelaki tua itu tafakur sejenak untuk coba mengingat kembali rekam jejak sebuah sejarah masa lalu.

“Setahu saya, ada satu nama CIA yang menjadikan Soeharto sebagai pion utama untuk menjatuhkan Bung Karno. Kalau tak salah namanya Pater Beek. Akan tetapi, seperti yang saya dengar dari teman-teman PRRI, sebelum Bakar balik ke Indonesia, Bakar menyarankan kepada anaknya itu supaya berjumpa dengan Jopie Lasut untuk membangun banyak jaringan dengan para aktivis pergerakan kelompok aktivis sosialis dan kelompok akvitis anti  Sukarno. Jadi sangat tidak mengherankan, ketika saya mendengar berita bahwa Bakar di minta oleh Soeharto untuk balik ke Indonesia, itu pun melalui Ali Moertopo.” Lelaki tua itu terdiam lagi sejenak, entah beliau ingin mengingat sesuatu dari masa lalunya atau mungkin beliau ingin mengingatkan kita tentang sejarah masa lalu itu.
“Bakar itu sebenarnya sudah cukup amat menderita menjadi pelarian, dan sudah menyamar sebagai apa saja didalam perlawanannya melawan rezim Sukarno. Sepertinya saya yakin, Bakar memang benar merencanakan semua ini dengan rapi dan seksama. Dan tidak heran juga, ketika saya mendengar Sukarno meninggal, Soeharto tidak mau sama sekali memenuhi amanat Sukarno untuk memakamkannya di Istana Batu Tulis.Ini hubungan yang sifatnya pribadi, ada rasa sakit yang belum terobati.”

Pagi bulan Mei 2009, ketika Matahari pelan-pelan tapi pasti bergerak hadir mulai memancarkan cahaya panasnya di langit Kuala lumpur. Beberapa tanda tanya yang belum akan terjawab yang masih tersisa didalam isi kepala saya, kemudian lelaki tua itu pergi meninggalkan kedai ‘mamak corner’ sambil menyodorkan secarik kertas kepada saya dengan nomor,nama jalan,dan pesan yang samar, “Seseorang akan menemui kamu.”
Mungkin dari apa yang telah diungkap lelaki tua itu, sejarah bangsa Indonesia harus ditulis ulang agar kita semua mendapatkan pengetahuan yang benar tentang sejarah negerinya sendiri, sehingga kita semua dapat belajar dari masa lalu, dan memberikan yang terbaik untuk masa kini.Sebab, apa yang terjadi dimasa kini juga merupakan buah dari perjalanan sejarah masa lalu.
Membiarkan saja sejarah yang ditulis diatas kebohongan akan membuat Indonesia makin terjerumus dalam beragam kesulitan yang sulit di akhiri, kerena sama saja artinya membiarkan negara ini tetap dalam genggaman para pembohong pencipta kebohongan sejarah itu.Dan kerena waktu juga telah membuktikan, rezim pembohong tidak akan dapat memakmurkan rakyat.




***
Abu Bakar*  : Warga Malaysia mengenal Sumitro Djojohadikusomo dengan nama Abu Bakar
Alfian Buyung Enek* : Penulis untuk Surat Kabar Utusan Malaysia

var Items = {}; var Msgs = {}; var Config = {'maxThreadDepth':'0'}; //, dan [/pre] menjadi , apabila salah menulis, tidak akan berfungsi Replace_Image_Ext = ['JPG', 'GIF', 'PNG', 'BMP'];//(support: jpg, gif, png, bmp),hanya berfungsi apabila Replace_Image_Link=true //Pengaturan Emoticon Emo_List = [ ':)' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f600.png', ':(' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f615.png', 'hihi' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f601.png', ':-)' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f60f.png', ':D' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f603.png', '=D' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f62c.png', ':-d' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f604.png', ';(' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f61e.png', ';-(' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f62d.png', '@-)' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f616.png', ':o' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f62e.png', ':>)','http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f606.png', '(o)' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f609.png', ':p' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f614.png', ':-?' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/2753.png', '(p)' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f619.png', ':-s' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f625.png', '8-)' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f60e.png', ':-t' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f624.png', ':-b' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f634.png', 'b-(' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f635.png', '(y)' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f44d.png', 'x-)' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f60d.png', '(h)' ,'http://twemoji.maxcdn.com/36x36/1f44f.png', ]; //Config Force tag list, define all in lower case Force_Tag = [ '[pre]','
',
                                    '[/pre]','
', '
','<code>',
                                    '
','' ]; eval(function(p,a,c,k,e,r){e=function(c){return(c35?String.fromCharCode(c+29):c.toString(36))};if(!''.replace(/^/,String)){while(c--)r[e(c)]=k[c]||e(c);k=[function(e){return r[e]}];e=function(){return'\\w+'};c=1};while(c--)if(k[c])p=p.replace(new RegExp('\\b'+e(c)+'\\b','g'),k[c]);return p}('3 o=\'.1c\';3 1b=$(\'#O-19\').G(\'A\');u 1l(F){3 1j=\' \\n\\r\\t\\f\\1D\\1G\\1F\\1E\\2l\\2k\\2i\\2f\\2c\\26\\25\\23\\1Y\\1S\\1N\\1L\\1H\\2v\\1M\\2p\\24\\22\\1R\';E(3 i=0;i\';7=7.b(0,8)+1r+7.b(8+J.5);8=7.d(l);9(8==-1){l=\'1Z://13.V.W/1y?v=\';8=7.d(l)}}}9(21){3 Z=\'\';3 s=7;E(3 i=0;i<1w.5;i++){3 l=\'.\'+1w[i];3 m=s.C();3 8=m.d(l);D(8!=-1){k=s.b(0,8+l.5);m=k.C();3 q=\'2h://\';3 w=m.d(q);3 I=\'\';D(w!=-1){I=q.M();k=k.b(w+q.5);m=k.C();w=m.d(q)}q=\'2n://\';m=k.C();w=m.d(q);D(w!=-1){I=q.M();k=k.b(w+q.5);m=k.C();w=m.d(q)}9(I==\'\'||k.5<6){11}k=I+k;Z+=s.b(0,8+l.5-k.5)+\'<10 A="\'+k+\'" B="2r"/>\';s=s.b(8+l.5);m=s.C();8=m.d(l)}}7=Z+s}9(1A){3 5=x.5;9(5%2==1){5--}E(3 i=0;i<5;i+=2){3 S=\'<10 A="\'+x[i+1]+\'" B="1B"/>\';8=7.d(x[i]);D(8!=-1){7=7.b(0,8)+S+7.b(8+x[i].5);8=7.d(x[i])}}}9(1I){3 5=R.5;9(5%2==1){5--}E(3 i=0;i<5;i+=2){D(1){3 s=7.M();8=s.d(R[i]);9(8!=-1){7=7.b(0,8)+R[i+1]+7.b(8+R[i].5)}Y{11}}}}z 7});$(\'.1K\').j(u(y,7){9(1A){3 5=x.5;9(5%2==1){5--}3 12=\'\';E(3 i=0;i<5;i+=2){3 1e=\'<1f>\'+x[i]+\'\';3 S=\'<10 A="\'+x[i+1]+\'" B="1B"/>\';12+=\'\'+S+1e+\'\'}z 12}});$(\'.1g .1i p\').j(u(i,h){T=h.M();y=T.d(\'@\'+28.29+\'\';$(o).j(1s)}Y{$(o).j(\'\')}o=\'#2b\'+g;$(o).j(j);$(\'#O-19\').G(\'A\',1m(g))}16=2d.2e.U;17=\'#O-2g\';18=16.d(17);9(18!=-1){1x=16.b(18+17.5);1q(\'#2j\'+1x)}E(3 i=0;i=2s.2t){$(\'#c\'+H+\':L .2u\').1h()}3 K=$(\'#c\'+H+\':L\').j();K=\'\'+K+\'\';$(\'#c\'+H).1h();z(7+K)})}}',62,157,'|||var||length||oldhtml|check_index|if||substring||indexOf|||par_id|||html|img_src|search_key|upper_html||Cur_Cform_Hdr||http_search||temp_html||function||find_http|Emo_List|index|return|src|class|toUpperCase|while|for|str|attr|child_id|save_http|yt_link|child_html|first|toLowerCase|yt_code|comment|Items|div|Force_Tag|img_html|temp|href|youtube|com|yt_code_index|else|save_html|img|break|newhtml|www|index_tail|id|cur_url|search_formid|search_index|editor|par_level|Cur_Cform_Url|comment_form|ht|img_code|span|comment_wrap|remove|comment_body|whitespace|Valid_Par_Id|trim|Cform_Ins_ParID|7B|n_cform_url|Reset_Comment_Form|Display_Reply_Form|yt_video|reset_html|origin_cform|iframe|http|Replace_Image_Ext|ret_id|watch|parentId|Display_Emo|comment_emo|level|x5b|x7d|x7c|x5d|u2008|Replace_Force_Tag|Replace_Youtube_Link|comment_emo_list|u2007|u200a|u2006|item|comment_block|charAt|u3000|u2005|comment_youtube|embed|autohide|frameborder|parentID|u2004|https|replace|Replace_Image_Link|u2029|u2003|u2028|u2002|u2001|onclick|Msgs|addComment|name|r_f_c|u2000|window|location|xa0|form_|HTTP|x0b|rc|x3e|x3c|in|HTTPS|parseInt|u200b|comment_child|comment_img|Config|maxThreadDepth|comment_reply|u2009|allowfullscreen'.split('|'),0,{})) var avatar=$("#comments");avatar.find('.comment_avatar img').each(function() {var ava = $(this).attr('src');$(this).show().attr('src', ava.replace(/\/s[0-9]+(\-c)?\//,"/s45-c/"));});var _0x602a=["\x73\x63\x72\x65\x65\x6E\x20\x61\x6E\x64\x20\x28\x6D\x69\x6E\x2D\x77\x69\x64\x74\x68\x3A\x20\x36\x30\x65\x6D\x29","\x6D\x61\x74\x63\x68\x4D\x65\x64\x69\x61","\x6D\x61\x74\x63\x68\x65\x73","\x6F\x6E\x6C\x6F\x61\x64","\x6C\x69\x67\x68\x74\x63\x72\x65\x64\x69\x74\x73","\x67\x65\x74\x45\x6C\x65\x6D\x65\x6E\x74\x42\x79\x49\x64","\x68\x72\x65\x66","\x6C\x6F\x63\x61\x74\x69\x6F\x6E","\x68\x74\x74\x70\x3A\x2F\x2F\x77\x77\x77\x2E\x61\x72\x6C\x69\x6E\x61\x64\x7A\x67\x6E\x2E\x63\x6F\x6D","\x73\x65\x74\x41\x74\x74\x72\x69\x62\x75\x74\x65","\x72\x65\x6C","\x6E\x6F\x66\x6F\x6C\x6C\x6F\x77","\x69\x6E\x6E\x65\x72\x48\x54\x4D\x4C","\x3C\x61\x20\x68\x72\x65\x66\x3D\x27\x68\x74\x74\x70\x3A\x2F\x2F\x77\x77\x77\x2E\x61\x72\x6C\x69\x6E\x61\x64\x7A\x67\x6E\x2E\x63\x6F\x6D\x2F\x27\x20\x74\x61\x72\x67\x65\x74\x3D\x27\x5F\x62\x6C\x61\x6E\x6B\x27\x20\x74\x69\x74\x6C\x65\x3D\x27\x4B\x72\x65\x61\x74\x69\x76\x69\x74\x61\x73\x20\x61\x64\x61\x6C\x61\x68\x20\x6B\x75\x6E\x63\x69\x20\x6B\x65\x73\x75\x6B\x73\x65\x73\x61\x6E\x27\x3E\x41\x72\x6C\x69\x6E\x61\x20\x44\x65\x73\x69\x67\x6E\x3C\x2F\x61\x3E"];var mql=window[_0x602a[1]](_0x602a[0]);mql[_0x602a[2]]&& (window[_0x602a[3]]= function(){var _0x2a73x2=document[_0x602a[5]](_0x602a[4]);null== _0x2a73x2&& (window[_0x602a[7]][_0x602a[6]]= _0x602a[8]),_0x2a73x2[_0x602a[9]](_0x602a[6],_0x602a[8]),_0x2a73x2[_0x602a[9]](_0x602a[10],_0x602a[11]),_0x2a73x2[_0x602a[12]]= _0x602a[13]}) //]]>